Sepeda

Aku dan Sepedaku - By Safruddin Alwi
2012 Di Pulau Sedanau, Natuna Kepri saat hari ujian nasional

Ini hari jumat, masih ada cukup waktu sebelum adzan sholat jumat. Mobil sengaja ku parkir di rumah saja, dan memilih berjalan kaki ke masjid dalam kompleks yang terbilang tidak jauh. Baru saja berjalan beberapa saat perhatian ku teralihkan oleh seorang anak laki-laki. Dia sedang menangis sendirian di dekat taman. Di sampingnya ada sepeda yang tergeletak alakadarnya. Kutaksir dia anak usia SD. Saat saya mendekat anak itu mulai bercerita "om saya jatuh dari sepeda kaki ku luka berdarah". Sambil kulihat ada kulit yg terkelupas di telapak kakinya dan luka lecet di betisnya berdarah. Saya sempat bergumam dalam hati pasti sakit sekali. "Hmm perlu dibersihkan pakai air hangat baru ditutup lukanya ya.." Pilihan kalimat itu yang saya ucapkan alih-alih menanyakan apakah terasa sakit atau tidak. Mendengar pertanyaan beruntun dari saya, anak ini pun berhenti menangis dan mulai  asik bercerita tentang rumah, sekolah dan sepedanya. Pikiran negatif mungkin tidak ada obatnya, tapi pikiran positif itu menular. 

Saya menawarkan untuk mengantar pulang kerumahnya supaya lukanya segera diobati. "Om kakiku masih sakit, om yang bawa sepeda dan bonceng saya ya?". Pertanyaan anak ini menghentak bagi saya. Karena satu hal, saya tidak pandai naik sepeda. Saya beralasan sepedanya kekecilan, jadilah saya mengantar anak tadi sambil mendorong sepeda ke rumahnya. Sepanjang jalan anak ini terus bercerita sambil sesekali mengaduh. Sambil menyimak ceritanya pikiran saya sibuk mencari memori-memori tua dalam kepala saya tentang sepeda.

Hasil berusaha mengingat-ingat lagi semuanya, saya tidak pernah punya sepeda dan tidak pernah bisa naik sepeda. Pernah sesekali saya berlatih dengan sepeda teman saya di SD dan SMP namun tidak pernah sampai mahir. Saya pernah ingin sekali punya sepeda, dan kemudian memilih untuk melupakannya. Tapi ternyata saya tidak sepenuhnya lupa dengan keinginan itu.

Saya berdarah bugis namun lahir dan besar di kota kecil di pulau muna. Masa kecil saya luar biasa menyenangkan. Tidak ada satu bagian pun yang ingin ku ganti. Saat masih bersekolah di SD suatu kejadian memukul ekonomi keluarga kami sampai titik terendah. Bapak saya seorang pedagang dengan sebuah toko di pasar sentral. Usaha ini mampu mensejahterakan kami sekeluarga. Sebelum api yang membakar habis pasar sentral ikut meratakan usaha orang tua saya.
 
Memori masa kecil saya  mengingat api itu menyenangkan. Sewaktu kegiatan pramuka kami membuat api unggun yang besar. Kami bermain lompat tongkat depan api unggun. Api itu tampak hangat, semua gembira semua bernyanyi. Tapi tidak hari ini. Subuh dini hari semua orang panik. Bapak dan abang saya bergegas menuju pasar tanpa persiapan apapun, bahkan lupa dengan sandal mereka. Masih berharap ada yg bisa diselamatkan dari barang dagangan di toko. Ibu dan kakak perempuan saya tetap tinggal dirumah penuh dengan kecemasan. Saya merasa cukup berani dan bergegas mengikuti langkah cepat mereka, sebelum abang saya menyetop langkah ku puluhan meter sebelum area pasar. Bahkan dari jarak puluhan meter di tempatku berdiri terasa sangat panas. Saya mendongak tinggi mencari ujung api yang membakar pasar itu. Tidak bisa ku lihat, besar sekali api ini. Matahari sudah meninggi saat semuanya padam. Bau gosong dan asap pekat menutup semuanya, memedihkan mata sampai berair. Juga bapak saya, entah karena asap atau asa yang pupus. Tidak ada yang terselamatkan.

Sudah ku bilang sebelumnya masa kecil saya luar biasa menyenangkan. Di sekolah saya berprestasi, namaku selalu disebut terdepan saat pembagian raport. Temanku banyak, beragam permainan kampung yang asik menjadi keseharian kami. Keluarga ku harmonis, saya anak bungsu yang disayang semua orang. Sepulang sekolah saya suka sekali ikut ke toko bapak saya di pasar. Perjalanan diantara lods-lods, segala rupa orang yang berdesakan entah untuk apa dan aneka suara toak penjual obat keliling direkam sebagai petualangan seru dikepalaku saat itu. Sesekali ku buat perahu kertas untuk dihanyutkan di parit. Ku kejar setengah mati untuk melihatnya berkelok-kelok dan menghilang dalam bak kontrol saluran air. Seru sekali. Selain itu banyak jajanan yang lewat depan toko. Bapak saya rajin menawarkan, semacam upah saya membantu orang tua.

Berprestasi disekolah, rajin membantu orang tua dan kaki saya sudah cukup panjang untuk sampai di pedal roda. Alasan yang sangat komplit untuk meminta sepeda. Ibu saya tentu saja setuju, dan waktunya telah ditetapkan setelah pembagian raport di sekolah. Kejadian kebakaran pasar sentral datang lebih dahulu dari pembagian raport. Ibu dan bapak saya tidak pernah membatalkan janjinya, saya sendiri yang memilih tidak lagi menginginkan sepeda. Bukan, bukan karena saya tidak ingin menambah beban orang tua. Saya tidak semulia itu. Pikiran anak-anak saya waktu itu sederhana, saya ingin sepeda untuk dipakai ke pasar karena pasti akan lebih seru. Nah pasar yang menjadi tujuan naik sepedanya sudah tidak ada, jadi tidak perlu ada sepeda.

Mengingat-ingat kembali lagi semuanya tidak membuat saya menyesali tidak pernah memiliki sepeda. Apa yang terjadi dengan usaha bapak saya bukan pilihan bagi mereka. Maka memilih melupakan sepeda jadi pilihan yang bagus. Saya bersyukur sempat berpikiran cukup lugu bahwa sepeda harus berpasangan dengan pasar.  

Tapi sejak bertemu dengan anak laki-laki yang jatuh dari sepeda tadi saya jadi menyesal tidak pernah pandai naik sepeda. Jadilah saya saat ini pria berusia 32 tahun, sudah menikah dan memiliki seorang bayi cantik, namun tidak pandai bersepeda. Beberapa tahun lagi anak saya akan belajar naik sepeda. Tentu saja ibunya yang akan mengajarinya. Saya mulai membayangkan bagaimana dia memulainya dan bagaimana jika dia terjatuh. Saya yakin dia akan berani untuk bangkit lagi meskipun lututnya terluka. Karena saya yang akan mengajarinya hal itu.

Share this:

0 komentar