Belajar Dari Filosofi Sang Nakhoda

Disambut matahari pagi
Setiap perjalanan layak untuk dinikmati. Perjalanan liburan yang menyenangkan ataupun perjalanan yang menguji adrenalin. Seperti yang orang-orang bilang life is a journey. Hidup itu sendiri sebuah perjalanan. Bertemu orang-orang baru dan mengenal kehidupan mereka satu dari banyak hal yang membuat perjalanan menarik. Dari mengenal kehidupan mereka kita bisa belajar sesuatu. Tulisan ini memuat jurnal perjalanan kira-kira setahun yang lalu.   
Sang Nakhoda - by Safruddin Alwi
Kepulauan Selayar 2014, Dari namanya sudah tergambar, daerah ini merupakan gugusan pulau. Untuk tugas kali ini, Saya dan tim menempuh perjalanan laut selama seminggu menyusuri beberapa pulau di Kepulauan Selayar. Mulai dari Benteng (ibu kota Selayar) menuju pulau-pulau utama : Pasimunggu, Pasimasunggu Timur, Pasimarannu, Taka Bonerate. Serta beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Tidak banyak alternatif transportasi menuju pulau-pulau ini. Kami menggunakan kapal kayu. Mengingat tidak ada penginapan di daerah yang kami tuju, rencana perjalanan harus kami atur supaya bisa sampai ditujuan pagi hari dan bisa menyelesaikan pekerjaan untuk selanjutnya menuju ke pulau berikutnya. Urusan tidur malam hari tentu saja harus di atas kapal. Nakhoda yang memimpin perjalanan kami dengan kapal ini. Kapal ini jelas jauh dari yang namanya teknologi. Benda paling canggih yang saya liat diruang kemudi senter dan kompas. Begitu pun, Nakhoda lebih sering mengamati langit ketimbang kompasnya. Mungkin pengalaman dan intuisinya lebih akurat dibandingkan kompas yang dia butuhkan.
Kendali Kemudi - by Safruddin Alwi
Menemani Nakhoda ada tiga orang ABK (anak buah kapal). Masing-masing dari ABK ini selalu menempati posisi satu dianjungan kapal dan buritan, masing-masing di kiri dan kanan. Satu diantara ABK tersebut sepertinya lebih dipercaya oleh Nakhoda. Sesekali ABK tersebut menggantikannya di balik kendali kemudi. Namun tidak demikian saat harus lepas tambat atau merapat di pelabuhan. Nakhoda selalu pegang kendali kemudi. ABK yang dipercaya menjadi asisten tersebut "diberi pengalaman" dibalik kemudi hanya dikondisi normal. Sembari pak Nakhoda beristirahat.

Aturan utama di kapal ini Nakhoda yang menentukan aturan. My ship my rules. Tentang kapan harus berangkat, sewaktu akan meninggalkan pelabuhan Pasimasunggu Timur, pukul 10 malam semuanya sudah berkumpul di pelabuhan. Barang sudah dinaikkan ke kapal. Nakhoda masih duduk di atap kapal sambil ngerokok mengamati langit dan memutuskan tidak akan berangkat sekarang.Sekalipun semuanya sudah siap. Alasannya satu "belum bagus untuk berangkat" katanya. Kami harus mahfum dengan keputusannya. Kami menunggu waktu yang "bagus untuk berangkat" itu sampai jam 3 dini hari. Alhasil kami sampai lebih telat dari yang seharusnya di tujuan berikutnya. Namun sekali lagi jadwal kami yang harus menyesuaikan keputusan nakhoda. Yang menjadi pertimbangan Nakhoda tidak selalu hal yang logis dipahani awam. Seperti kejadian semalam, waktu yang "belum bagus untuk berangkat" itu karena Nakhoda ingin mendahulukan satu kapal lainnya yang juga ada di pelabuhan untuk berangkat lebih dahulu. Konon pemilik kapal tersebut cukup terganggu dengan kehadiran kami yang numpang merapat di pelabuhan tersebut. Jadi Nakhoda memutuskan mempersilahkan kapal tersebut lebih dahulu.

Nakhoda berkomunikasi dengan ABK dengan membunyikan semacam lonceng. Semacam bahasa sandi antar mereka. Untuk memberikan semacam kode. Seperti saat harus bersiap diposisinya untuk melempar tali atau menarik jangkar. Di atap ruang kemudi ada pintu yang menghadap ke atas. Saat cuaca kurang baik Nakhoda akan duduk di atap kapal, membuka pintu tersebut dan mengendalikan kemudi dengan kakinya. Ini untuk memudahkan Nakhoda mengamati cuaca dan menginstruksikan ABK nya. Mereka punya tradisi sendiri.  Seperti saat kami tidak jadi berangkat pada hari jumat seperti yang semula kami rencanakan. Menurut pak Nakhoda, mereka tidak melakukan perjalanan panjang pada hari Jumat. Kebiasaan ini terbawa sejak jaman masih menggunakan layar. Karenanya pergerakan kapal sangat bergantung dengan kecepatan  angin. Dikhawatirkan para pelaut tidak akan sempat melakukan sholat jumat jika harus melakukan perjalanan jauh.   
Di lorong kapal - by Safruddin Alwi
Sepanjang perjalanan banyak cerita mistis tentang laut. Berhubung saya tidak percaya dengan hal-hal seperti itu semua cerita tersebut hanya informasi numpang lewat. Saya lebih tertarik bagaimana mereka mengorganisir kapal ini. Bagaimana sang nakhoda memimpin kapal. Karena saya sangat yakin tidak ada pendidikan formal yang membawanya menjadi pemimpin di atas kapal ini. Tidak ada teknologi yang menjamin kapal ini bisa sampai ke tujuan. Bahkan tidak ada pelampung yang menjamin keselamatan kami jika kapal ini karam. Iseng saya bertanya kalau kapal ini karam apa yang harus dilakukan. Jawabannya bertahan dikapal selama mungkin. Kapal ini terbuat dari kayu secara teori sebagian besarnya akan mengapung. Pilihan terakhir adalah jeregen dan galon. Caranya ? cukup mengikat jeregen dan galon kosong tersebut ke badan. Solusi yang sederhana mengingat kami berada di ujung kaki sulawesi mengarah ke laut banda. Sering kali kapal yang tidak sanggup melawan ombak yang mengganas akan terdampar di perairan Nusa Tenggara. Yap betul di provinsi berbeda.

Kami yang berada di kapal ini punya tujuan yang sama, searah dengan tujuan kapal ini. dan pastinya semuanya ingin selamat. Cukup dua alasan ini. Selebihnya hanya butuh saling percaya. Kami harus percaya bahwa nakhoda akan membawa kami sampai tujuan. dan Nakhoda harus percaya ABK nya bisa diandalkan serta percaya kami akan mematuhi jadwal kami harus berangkat.  
Di akhir perjalanan, kami tiba di pulau Tinabo taman nasional Takabonerate. Saya sudah meminta hal yang tidak mudah ke tim untuk melakukan perjalanan ini demi tugas. Karenanya saya ingin beri kelonggaran waktu untuk menikmati taman nasional takabonerate yang memang indah. Maka bersantailah kami di pulau Tinabo. Rencananya bisa menikmati sunset di pulau ini. Namun di waktu ashar yang masih sangat cerah, Nakhoda sudah gusar dan meminta kami untuk bisa secepatnya berangkat karena akan ada badai menurut pengamatannya. Mata awam saya mengamati langit yang tampak baik-baik saja, cerah dengan sedikit awan dan sedikit angin. Tapi saya cukup percaya ini untuk kebaikan perjalanan, dan acara sunset itupun batal. 

Dan betul saja apa yang dikhawatirkan Nakhoda, Sepanjang perjalanan kembali ke Benteng kapal dihantam ombak setinggi moncong kapal. Seharusnya perjalanan ditempuh selama 5 jam molor sampai 12 jam, karena Nakhoda harus berganti rute ke perairan dekat pulau yang seharusnya lebih teduh. Bahkan di rute alternatif ini pun ombak yang menghantam kapal tidak kunjung reda dan membuat beberapa dari kami mabuk laut. Semakin malam semakin menggila amuk ombak menghantam kapal. Namun tidak terbayangkan kondisi kapal ini jika terjebak badai yang lebih dahsyat, jika kami memutuskan tinggal lebih lama di Tinabo. Alhamdulillah kami sampai dengan selamat. Tidak kurang satu apapun, kecuali isi perut yang terbuang karena mabuk laut.

Share this:

0 komentar